Baca Juga :
Dewasa ini kita berhadapan dengan carut-marut model pendidikan nasional. Kata orang bijak pendidikan itu seumur hidup. Benarlah demikian namun perlu diingat bahwa pendidikan selalu berhubungan dengan manusia yang hidup dan berproses sepanjang hayat. Alih-alih pendidikan dipandang sebatas pendidikan formal. Sehingga keluarga sebagai lembaga pendidikan dasar kerap kali lepas tangan dalam mendidik anak-anak di rumah. Ada beragam alasan dan salah satu alasan di antaranya adalah karir.
Persoalanan karir dewasa ini cenderung mengabaikan dasar pendidikan di rumah. Bagi keluarga dewasa ini bangku pendidikan seperti sekolah-sekolah, seminari-seminari, madrasa-madrasa dan universitas-universitas dipandang sebagai lembaga pendidikan yang sejati.
Pemahaman pendidikan sebatas institusi formil semata membuat kita jatuh pada model pendidikan yang mati. Yang dimaksudkan di sini adalah model pendidikan yang hanya berurusan dengan tempat, status, jabatan, prestasi, prestise dan mengabaikan model pendidikan yang hidup yakni pendidikan yang mengalir, dinamis dan berkembang. Manusia adalah pusat dari pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan seyogyanya memanusiakan manusia dengan metode pendidikan yang hidup. Pendidikan yang hidup selalu mengalir seperti air.
Paradigma yang salah tentang pendidikan kemudian melahirkan mentalitas tadah, harap gampang dan berakibat pada peserta didik yang apatis, diam dan tidak memilik mental ekspolratif untuk mendalami ilmu yang diberikan oleh guru. Budaya diam merupakan pendididikan yang mati. Penanaman budaya diam ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang salah tentang pendidikan. Kita terlanjur berpikir bahwa pendidikan formal dengan jenjang-jenjangnya adalah model satu-satunya pendidikan yang baik. Perlu diingat bahwa jenjang suatu pendidikan hanyalah satu formalitas birokratif yang merupakan bagian dari tatanan pemerintahan. Dan persis di sini, kita melakukan satu distingsi yang besar antara pendidikan formal dan pendidikan kehidupan manusia.
Setelah melihat realitas pendidikan kita saat ini, ada satu hal yang mengganjal yakni sistem hukum yang “cacat” dan memihak. Banyak perserta didik berani melawan guru karena mereka meresa dilindungi oleh payung hukum “Hak Asasi Anak . Banyak guru lepas tangan untuk mendidik karena kewajiban mendidik para guru seolah terabaikan dan yang disoroti adalah hak anak.
Banyak guru terpaksa melalaikan tanggung jawab mendidik dan hanya fokus pada mengajar. Artinya ruang gerak para guru untuk mendidik saat ini dipersempit dengan gerakan hak anak. Hal ini menyulitkan para guru untuk menerapkan metode pendidikan yang unggul. Tugas guru bukan semata-mata untuk mengajar dan menyalurkan ilmu pengetahunnya ke otak peserta didik. Sejatinya pendidikan yang benar adalah pemuridan murid, dan pemanusiaan manusia.
Budaya diam dalam pendidikan telah membuat kualitas pendidikan kita terbelakang dari provinsi lain. Kita harus membuat gebarkan baru guna membebaskan provinsi kita dari model pendidikan kata benda menuju pendidikan kata kerja dan dari budaya diam menuju pendidikan yang dialogis. Selama ini, kita berpikir dengan banyak buku yang dibeli di toko-toko buku pendidikan sudah menjamin kualitas peserta didik. Ternyata anggapan ini masih terperangkap dan model pendidikan kata benda di mana kita hanya berurusan dengan formalitas pendidikan, guru hadir, siswa hadir, setiap bulan ada gaji, daftar hadir diisi, siswa mengikuti ujian, pengumuman hasil UN, 100 % lulus, pujian bagi sekolah, nilai dikeluarkan dan ijazah diterima.
Pendidikan kata kerja menolak segala bentuk keseragaman, dengan mempertimbangkan situasi daerah tertentu. Kehidupan menjadi prioritas dalam pendidikan. Apabila satu daerah belum mampu menyesuaikan diri dengan keadaan zaman yang serba digital, model pendidikan kata kerja bisa menjadi solusi. Sebab kita berhadapan dengan manusia yang penuh dengan aneka persoalan dan setiap persoalan manusia tidak sama. Dan pada konteks ini, pendidikan kata kerja memainkan peranan penting dalam memecah kebuntuan ini.
Sampai pada penjelasan ini, kita bisa menemukan satu titik korelasi antara pendidikan kata kerja dengan pendidikan yang dialogis. Banyak sekolah diam karena mereka kesulitan menyesuaikan diri dengan tuntutan birokrasi pendidikan sehingga banyak sekolah hanya ikut arus tanpa mengetahui kemampuan siswanya. Hal ini kemudian membuat banyak siswa diam membisu dan menjadi penonton dalam pentas pendidikan. Maka untuk mencapai satu bentuk pendidikan yang dialogis, perlu ada pertimbangan dari segala sisi. Dialog harus dibangun melalui jalur pendidikan kata kerja. Metode ini bisa menjadi jawaban atas situasi dan kondisi. Pendidikan kata kerja telah membuka ruang bagi pendidikan dialogis.
Pendidikan dialogis merupakan produk dari pendidikan kata kerja di mana ada dialog kehidupan yang dibangun. Lembaga pendidikan harus membangun dialog dengan peserta didik. Dalam dialog kita dapat menemukan banyak hal yang harus dibenahi dan diperbaiki. Budaya diam adalah satu kendala dalam melihat dan menilai sejauh mana kualitas pendidikan kita ini. Pendidikan kata kerja adalah pendidikan yang pro kehidupan dan selalu dinamis. Pendidikan kata kerja menjadi gerbang untuk pendidikan yang dialogis. Demikian pula pendidikan kata benda menjadi jalan menuju budaya diam. Untuk NTT yang tercinta, saatnya kita bangkit dari budaya diam menuju pendidikan yang dialogis dengan menerapkan model pendidikan “Kata Kerja”. Long Life Education and Life Is Education(*)
Penulis : Yohanes Adrianus Siki
Persoalanan karir dewasa ini cenderung mengabaikan dasar pendidikan di rumah. Bagi keluarga dewasa ini bangku pendidikan seperti sekolah-sekolah, seminari-seminari, madrasa-madrasa dan universitas-universitas dipandang sebagai lembaga pendidikan yang sejati.
Pemahaman pendidikan sebatas institusi formil semata membuat kita jatuh pada model pendidikan yang mati. Yang dimaksudkan di sini adalah model pendidikan yang hanya berurusan dengan tempat, status, jabatan, prestasi, prestise dan mengabaikan model pendidikan yang hidup yakni pendidikan yang mengalir, dinamis dan berkembang. Manusia adalah pusat dari pendidikan. Oleh sebab itu pendidikan seyogyanya memanusiakan manusia dengan metode pendidikan yang hidup. Pendidikan yang hidup selalu mengalir seperti air.
Paradigma yang salah tentang pendidikan kemudian melahirkan mentalitas tadah, harap gampang dan berakibat pada peserta didik yang apatis, diam dan tidak memilik mental ekspolratif untuk mendalami ilmu yang diberikan oleh guru. Budaya diam merupakan pendididikan yang mati. Penanaman budaya diam ini tidak terlepas dari pandangan masyarakat yang salah tentang pendidikan. Kita terlanjur berpikir bahwa pendidikan formal dengan jenjang-jenjangnya adalah model satu-satunya pendidikan yang baik. Perlu diingat bahwa jenjang suatu pendidikan hanyalah satu formalitas birokratif yang merupakan bagian dari tatanan pemerintahan. Dan persis di sini, kita melakukan satu distingsi yang besar antara pendidikan formal dan pendidikan kehidupan manusia.
Relitas Pendidikan Kita
Akhir-akhir ini, banyak guru dan staf pengajar yang mengeluh dengan tingkah laku para peserta didik. Di media massa dan media online, kita jumpai ada begitu banyak guru yang mengalami kekerasan fisik dari orang tua murid dan bahkan murid itu sendiri. Lantas apa yang bisa kita buat? Pertama-tama kita harus melibatkan seluruh elemen kehidupan untuk memahami arti pendidikan yang baik dan benar. Pihak keamanan tidak boleh bertindak secara sepihak tanpa mendalami persoalan yang terjadi di bangku pendidikan. Guru berkewajiban untuk mendidik peserta didik bila perlu dengan rotan. Pihak keamanan hanya bisa mencampuri urusan di lembaga pendidikan sejauh adanya kriminalitas. Masyarakat kita gagal memahami arti hak anak. Hak anak tidak identik dengan siswa tidak boleh dirotani, siswa tidak boleh dihukum. Sejauh tidak ada kriminalitas seperti pembunuhan, pihak berwajib tidak mempunyai hak untuk mencampuri urusan pendidikan anak.
Setelah melihat realitas pendidikan kita saat ini, ada satu hal yang mengganjal yakni sistem hukum yang “cacat” dan memihak. Banyak perserta didik berani melawan guru karena mereka meresa dilindungi oleh payung hukum “Hak Asasi Anak . Banyak guru lepas tangan untuk mendidik karena kewajiban mendidik para guru seolah terabaikan dan yang disoroti adalah hak anak.
Banyak guru terpaksa melalaikan tanggung jawab mendidik dan hanya fokus pada mengajar. Artinya ruang gerak para guru untuk mendidik saat ini dipersempit dengan gerakan hak anak. Hal ini menyulitkan para guru untuk menerapkan metode pendidikan yang unggul. Tugas guru bukan semata-mata untuk mengajar dan menyalurkan ilmu pengetahunnya ke otak peserta didik. Sejatinya pendidikan yang benar adalah pemuridan murid, dan pemanusiaan manusia.
Pendidikan “Kata Kerja” Vs Pendidikan “Kata Benda”
Judul tulisan ini adalah “Pendidikan sebagai Kata Kerja”. Penulis berinisiatif menampilkan satu metode pendidikan di NTT dari perspektif filsafat. Tulisan ini mengajak kita untuk melihat pendidikan tidak sebatas interaksi antara siswa dan guru atau mahasiswa dan dosen. Tetapi jauh melampaui itu, pendidikan adalah interaksi antara manusia dan manusia. Artinya bahwa pendidikan tidak melulu terikat pada status guru dan siswa, mahasiswa dan dosen. Jika kita melihat pendidikan sebatas guru dan siswa, atau dosen dan mahasiswa, maka kita sedang berbicara tentang pendidikan sebagai institusi formil belaka dan itu hanya berlaku di kompleks lembaga pendidikan yang berdurasi 8 jam.
Pendidikan adalah perjumpaan manusia dan manusia. Perjumpaan ini kita namakan pendidikan kata kerja. Artinya bahwa pendidikan itu berurusan dengan hal-hal yang hidup yakni manusia. Adalah salah bila kita memahami pendidikan sebatas perjumpaan siswa dan guru. Perjumpaan ini boleh kita sebut pendidikan kata benda.
Mengapa demikian? Sebab kita melihat pendidikan hanyalah perjumpaan status guru dan siswa, kita mencopot kemanusiaan dan meletakan status tersebut di atas pendidikan. Pendidikan model ini adalah pendidikan kata benda, yang statis dan mati. Sebab hanya berlaku selama di lembaga pendidikan. pendidikan harus dilihat sebagai perjumpaan antara manusia yang berpengalaman dengan manusia yang hendak belajar dari pengalaman. Oleh karena pendidikan selalu berafiliasi dengan kehidupan, maka pendidikan itu dilaksanakan seumur hidup di mana dan kapan saja tanpa terikat oleh status dan jabatan. Status dan jabatan itu kata benda yang artinya tidak dinamis dan kaku. Sedangkan kemanusiaan adalah kata kerja yang dinamis dan hidup serta selalu mengalir dalam hidup bersama.
Sampai pada poin tentang pengertian pengertian pendidikan kata kerja dan pendidikan kata benda, kita pun bisa memahami arah dan tujuan tulisan ini dalam hal pendidikan di NTT. Sejatinya pendidikan yang benar adalah pendidikan kata kerja yang mana membuka wawasan kita tentang arti dan hakikat pendidikan yang baik dan benar yakni pendidikan kehidupan karena manusia adalah makhluk yang hidup. Barangkali selama ini kita mengartikan pendidikan sebatas pemberian materi pelajaran dari guru ke siswa atau mengerti pendidikan sebagai satu lembanga formal di mana melaluinya banyak orang boleh mendapat ijazah sehingga mereka bisa mendapat pekerjaan dengan mudah dan berpenghasilan besar.
Pendidikan sejatinya adalah adalah suatu kegiatan yang dinamis, bergerak dan hidup. Pendidikan bukan sekadar memindahkan pengetahuan guru ke para murid. Pendidikan seharusnya membawa para peserta didik sampai pada satu keputusan di mana ia dengan bebas menentukan bahwa ini baik dan ini salah tanpa intervensi apapun dengan tujuan apapun. Pendidikan senantiasa mengalir atau pantha rei. Karena pendidikan itu dinamis maka harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pendidikan bukan bagian dari institusi formil yang lebih mengutamakan sitem birokratif yang bertelel-tele melainkan pendidikan adalah bagian dari kehidupan. Persis sampai pada poin ini kita bisa memahami bahwa pendidikan itu berurusan dengan kehidupan dan bukan hanya berurusan dengan teks-teks mati di dalam buku-buku pelajaran, diktat-diktat dan status guru-siswa serta dosen-mahasiswa.
Saatnya kita membangun pendidikan progresif yang mana pendidikan itu dipahami sebagai sebuah kata kerja yang selalu aktif, dinamis, agar dapat selalu sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Pada konteks inilah kita bisa mengerti apa artinya pendidikan “kata kerja”. Pendidikan kata kerja dan pendidikan kata benda telah kita pahami maksudnya. Lantas, setelah memahami pengertian kedua model pendidikan tersebut, kita bisa memberi penilaian atas sistem pendidikan yang sedang diterapkan di NTT.
Pendidikan adalah perjumpaan manusia dan manusia. Perjumpaan ini kita namakan pendidikan kata kerja. Artinya bahwa pendidikan itu berurusan dengan hal-hal yang hidup yakni manusia. Adalah salah bila kita memahami pendidikan sebatas perjumpaan siswa dan guru. Perjumpaan ini boleh kita sebut pendidikan kata benda.
Mengapa demikian? Sebab kita melihat pendidikan hanyalah perjumpaan status guru dan siswa, kita mencopot kemanusiaan dan meletakan status tersebut di atas pendidikan. Pendidikan model ini adalah pendidikan kata benda, yang statis dan mati. Sebab hanya berlaku selama di lembaga pendidikan. pendidikan harus dilihat sebagai perjumpaan antara manusia yang berpengalaman dengan manusia yang hendak belajar dari pengalaman. Oleh karena pendidikan selalu berafiliasi dengan kehidupan, maka pendidikan itu dilaksanakan seumur hidup di mana dan kapan saja tanpa terikat oleh status dan jabatan. Status dan jabatan itu kata benda yang artinya tidak dinamis dan kaku. Sedangkan kemanusiaan adalah kata kerja yang dinamis dan hidup serta selalu mengalir dalam hidup bersama.
Sampai pada poin tentang pengertian pengertian pendidikan kata kerja dan pendidikan kata benda, kita pun bisa memahami arah dan tujuan tulisan ini dalam hal pendidikan di NTT. Sejatinya pendidikan yang benar adalah pendidikan kata kerja yang mana membuka wawasan kita tentang arti dan hakikat pendidikan yang baik dan benar yakni pendidikan kehidupan karena manusia adalah makhluk yang hidup. Barangkali selama ini kita mengartikan pendidikan sebatas pemberian materi pelajaran dari guru ke siswa atau mengerti pendidikan sebagai satu lembanga formal di mana melaluinya banyak orang boleh mendapat ijazah sehingga mereka bisa mendapat pekerjaan dengan mudah dan berpenghasilan besar.
Pendidikan sejatinya adalah adalah suatu kegiatan yang dinamis, bergerak dan hidup. Pendidikan bukan sekadar memindahkan pengetahuan guru ke para murid. Pendidikan seharusnya membawa para peserta didik sampai pada satu keputusan di mana ia dengan bebas menentukan bahwa ini baik dan ini salah tanpa intervensi apapun dengan tujuan apapun. Pendidikan senantiasa mengalir atau pantha rei. Karena pendidikan itu dinamis maka harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Pendidikan bukan bagian dari institusi formil yang lebih mengutamakan sitem birokratif yang bertelel-tele melainkan pendidikan adalah bagian dari kehidupan. Persis sampai pada poin ini kita bisa memahami bahwa pendidikan itu berurusan dengan kehidupan dan bukan hanya berurusan dengan teks-teks mati di dalam buku-buku pelajaran, diktat-diktat dan status guru-siswa serta dosen-mahasiswa.
Saatnya kita membangun pendidikan progresif yang mana pendidikan itu dipahami sebagai sebuah kata kerja yang selalu aktif, dinamis, agar dapat selalu sesuai dengan kebutuhan hidup manusia. Pada konteks inilah kita bisa mengerti apa artinya pendidikan “kata kerja”. Pendidikan kata kerja dan pendidikan kata benda telah kita pahami maksudnya. Lantas, setelah memahami pengertian kedua model pendidikan tersebut, kita bisa memberi penilaian atas sistem pendidikan yang sedang diterapkan di NTT.
Pendidikan “Kata Benda” Menuju Budaya Diam
Pendidikan kata benda telah kita pahami maksudnya. Lantas apa korelasi antara pendidikan kata benda dengan budaya diam? Kedua frase di atas, baik budaya diam maupun pendidikan kata benda memiliki keterkaitan yang erat. Di mana pendidikan kata benda hanya berurusan dengan teks-teks mati yang tidak dinamis dan kaku. Persis di sini kita temukan titik korelasinya bahwa budaya diam adalah produk terbaik dari pendidikan kata benda. Model pendidikan ini telah mejadikan provinsi kita jauh terbelakang dalam hal prestasi di kanca nasional dan internasional. Metode pendidikan kata benda telah membungkam banyak peseta didik sehingga tidak berkembang.
Budaya diam dalam pendidikan telah membuat kualitas pendidikan kita terbelakang dari provinsi lain. Kita harus membuat gebarkan baru guna membebaskan provinsi kita dari model pendidikan kata benda menuju pendidikan kata kerja dan dari budaya diam menuju pendidikan yang dialogis. Selama ini, kita berpikir dengan banyak buku yang dibeli di toko-toko buku pendidikan sudah menjamin kualitas peserta didik. Ternyata anggapan ini masih terperangkap dan model pendidikan kata benda di mana kita hanya berurusan dengan formalitas pendidikan, guru hadir, siswa hadir, setiap bulan ada gaji, daftar hadir diisi, siswa mengikuti ujian, pengumuman hasil UN, 100 % lulus, pujian bagi sekolah, nilai dikeluarkan dan ijazah diterima.
Pendidikan “Kata Kerja” Gerbang Pendidikan Dialogis
Kini saatnya kita membangkitkan pendidikan di Provinsi NTT dengan model pendidikan kata kerja di mana kita tidak lagi hanya berurusan dengan hal-hal yang bersifat formalitas belaka melainkan harus sungguh membawa peserta didik pada satu keputusan yang baik dan benar dan memihak kehidupan. Pendidikan kata kerja adalah bentuk pendidikan yang selalu mengalir dan berkembang sesuai tuntutan zaman dan situasi. Pendidikan kata kerja menghormati situasi dan perbedaan.
Pendidikan kata kerja menolak segala bentuk keseragaman, dengan mempertimbangkan situasi daerah tertentu. Kehidupan menjadi prioritas dalam pendidikan. Apabila satu daerah belum mampu menyesuaikan diri dengan keadaan zaman yang serba digital, model pendidikan kata kerja bisa menjadi solusi. Sebab kita berhadapan dengan manusia yang penuh dengan aneka persoalan dan setiap persoalan manusia tidak sama. Dan pada konteks ini, pendidikan kata kerja memainkan peranan penting dalam memecah kebuntuan ini.
Sampai pada penjelasan ini, kita bisa menemukan satu titik korelasi antara pendidikan kata kerja dengan pendidikan yang dialogis. Banyak sekolah diam karena mereka kesulitan menyesuaikan diri dengan tuntutan birokrasi pendidikan sehingga banyak sekolah hanya ikut arus tanpa mengetahui kemampuan siswanya. Hal ini kemudian membuat banyak siswa diam membisu dan menjadi penonton dalam pentas pendidikan. Maka untuk mencapai satu bentuk pendidikan yang dialogis, perlu ada pertimbangan dari segala sisi. Dialog harus dibangun melalui jalur pendidikan kata kerja. Metode ini bisa menjadi jawaban atas situasi dan kondisi. Pendidikan kata kerja telah membuka ruang bagi pendidikan dialogis.
Pendidikan dialogis merupakan produk dari pendidikan kata kerja di mana ada dialog kehidupan yang dibangun. Lembaga pendidikan harus membangun dialog dengan peserta didik. Dalam dialog kita dapat menemukan banyak hal yang harus dibenahi dan diperbaiki. Budaya diam adalah satu kendala dalam melihat dan menilai sejauh mana kualitas pendidikan kita ini. Pendidikan kata kerja adalah pendidikan yang pro kehidupan dan selalu dinamis. Pendidikan kata kerja menjadi gerbang untuk pendidikan yang dialogis. Demikian pula pendidikan kata benda menjadi jalan menuju budaya diam. Untuk NTT yang tercinta, saatnya kita bangkit dari budaya diam menuju pendidikan yang dialogis dengan menerapkan model pendidikan “Kata Kerja”. Long Life Education and Life Is Education(*)
Penulis : Yohanes Adrianus Siki
Ilustrasi anak sekolah. Photo via https://peterdjawa.wordpress.com/ |
KOMENTAR