Daftar isi
Pandemi Global dan Problem Teknologi
“Baik, silakan teman-teman on cam. Boleh sambil sarapan bagi yang belum, asal jangan sambil mandi ya..” Demikian saya berkelakar di awal suatu sesi perkuliahan daring.
Entah lucu atau tidak, yang jelas beberapa orang mahasiswa yang tampak menggulung senyum. Belum lama saya berucap, terlihat salah satu video stream partisipan begitu buram. Sejenak saya amati, agaknya webcam miliknya mengembun oleh karena uap semangkuk soto panas yang ia pegang terlalu dekat dengan lensa. Entah, mungkin karena lupa mematikan microphone, sayup-sayup terdengar suara orang mengunyah dengan begitu bersemangat. Seiring raibnya sang embun di permukaan lensa, sosok yang sedang menekuri semangkuk soto itu tampak perlahan. Segera saya menekan tombol unmute all participant. Sebagaimana mereka, pun saya hanya bisa menggulung senyum.
Prosesi wisuda yang bahkan dilakukan secara daring selama masa pandemi. Foto oleh : Mohammad Shahhosseini – unsplash.com (Creative Common Lisence) |
Demikian kira-kira hari demi hari saya menjalani perkuliahan daring – yang tentu saja dengan beragam problematikanya. Mulai dari mahasiswa yang meminta perpanjangan pengumpulan tugas, atau off cam di sepanjang perkuliahan daring karena kuota internet yang habis atau menipis – hingga mereka yang online dari toko atau warung milik orang tuanya. Maklum, pandemi global ini telah memberikan efek berantai yang menohok telak sektor ekonomi. Terutama pada bisnis non-formal, sekitar 70% UMKM terdampak oleh pandemi. Meski beragam program pemulihan ekonomi telah dijalankan, namun sebagian orang masih harus berjuang untuk bertahan.
Mungkin bukan hal yang aneh bagi saya ketika hari-hari ini menjumpai mahasiswa yang mengikuti perkuliahan daring dari tempat mereka bekerja. Mereka yang sebelumnya “hanya” berkuliah, kini ikut membantu menopang ekonomi keluarga. Tapi jujur saja – dan saya merasakan - berkat ragam masalah tersebut saya banyak belajar bagaimana bersikap lebih asertif, lebih peka, dan menyenangkan, terutama ketika kini banyak orang menjadi lebih ‘sensitif’. Tak hanya problem yang berkaitan dengan komunikasi interpersonal yang termediasi teknologi, sebagaimana komunikasi dalam pembelajaran daring, namun problem teknologi itu sendiri juga kerap mengemuka.
Belum lama saya melihat sebuah video rekaman seorang profesor yang frustasi ketika menjalani perkuliahan daringnya yang pertama kali. Ia begitu kebingungan ketika dihadapkan pada banyak fitur dalam aplikasi online meeting, sedangkan di layar ratusan mahasiswa telah menunggu studium generale yang sedianya akan ia berikan saat itu. Saking frustasinya, sang profesor kemudian menangis. Beruntung ia memiliki mahasiswa-mahasiswa yang telah benar-benar dewasa dalam bersikap. Mereka kemudian bertepuk tangan untuk menghargai ‘perjuangan’ sang profesor yang sedang bergelut dengan teknologi. Di Indonesia, di awal pandemi lalu, wakil Ketua Komisi X DPR RI (Membidangi pendidikan, olahraga serta pariwisata dan ekonomi kreatif) Hetifah Sjaifudian mengatakan bahwa; menurut survey yang dilakukan oleh Kemdikbud, sekitar 50% guru ternyata belum mengimplementasikan metode pembelajaran daring meskipun mereka sudah memiliki gawai yang cukup dan terakses internet. Agaknya hal ini ada kaitannya dengan kondisi di masa pra-pandemi, di mana hanya 40% guru non-TIK yang siap dengan teknologi.
Generasi baby boomer kerap kesulitan menghadapi tantangan teknologi. Foto oleh : Jonathan Borba – unsplash.com (Creative Common Lisence) |
Tentu problem-problem ini tidak terjadi begitu saja, ada banyak faktor yang turut berperan, semisal diantaranya; ketersediaan jaringan internet (infrastruktur dan akses), kesiapan sumber daya manusia, dan juga faktor peserta didik. Dalam hal ini, saya cukup tertarik untuk membicarakan faktor yang kedua; mengenai kesiapan sumber daya manusia. Sedikit bercerita, saya memiliki seorang kolega yang berusia di atas 40 tahun. Selama masa pandemi, nyaris setiap hari ia pergi ke ruangan saya, atau menelpon ketika WFH untuk sekadar menanyakan; bagaimana memasukkan mahasiswa menjadi member dalam channel matakuliah pada platform e-learning yang digunakan. Sedangkan kolega saya yang lain, yang berusia di atas 50 tahun; mungkin sudah lebih dari sepuluh kali mengeluh kepada saya mengenai microphone yang tidak dikenali oleh sistem operasi.
Sebulan yang lalu saya juga menyaksikan seorang kolega senior yang nyerocos hampir 10 menit di sebuah webinar tanpa melihat ke layar, dan ternyata microphone masih dalam kondisi mute. Bahkan seminggu sebelum artikel ini ditulis, saya harus “pulang kampung”, karena ibu saya yang juga seorang dosen senior mengeluhkan laptopnya yang enggan terkoneksi internet. Setelah menempuh perjalanan selama 60 menit, saya mendapati laptop ibu dalam keadaan mode pesawat (airplane mode). Yang terakhir ini, saya tidak boleh mengeluh, karena beliau yang mengajari saya membaca dan menulis. Hal ini menjadi sejalan dengan riset yang dilakukan oleh Purwanto, dkk., mengenai studi eksploratif dampak pandemi COVID-19 terhadap proses pembelajaran online di Sekolah Dasar, yang menunjukkan bahwa guru senior belum sepenuhnya mampu menggunakan perangkat atau fasilitas untuk penunjang kegiatan pembelajaran online. Sedemikiankah para pengajar dari generasi baby boomer kerap kesulitan menghadapi tantangan teknologi - di saat problem komunikasi interpersonal dalam dunia cyber; dan problem teknologi - menjadi dua spektrum yang hadir bersamaan di masa pandemi?
Menjadi Pembelajar Sepanjang Hayat
Survey yang dilakukan oleh Kaspersky menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga (35%) orang yang berusia di atas 55 tahun mengalami kesulitan dalam menghadapi tantangan teknologi. Adapun 55% generasi milenial merasa perlu untuk membantu kerabat yang lebih tua ketika mengalami kesulitan teknologi, dan 25% lainnya memilih untuk menghindar. Di sisi lain, 52% orang di atas 55 tahun mengaku tidak memiliki pengetahuan teknologi, 41% lainnya akan menelepon anak atau anggota keluarga yang lebih muda untuk mendapat bantuan. Melihat survey tersebut, saya seperti melihat diri sendiri yang berada di tengah-tengah keluarga besar. Hal ini memang galib terjadi. Sejalan dengan survey Kaspersky, riset Fozahl dan Wahl juga menemukan bahwa permasalahan yang muncul adalah pada generasi Baby boomer yang tidak native terhadap teknologi akan mengalami kesulitan untuk menerima berbagai tipe artefak dan fitur teknologi. Bahkan riset lainnya menunjukkan bahwa mereka cenderung menolak mengadopsi teknologi informasi baru.
Mengenai generasi baby boomer yang kerap kesulitan dalam menghadapi tantangan teknologi - terkadang saya pun sukar memahami. Sebab saya memiliki anggapan bahwa; pada dasarnya setiap orang memiliki peluang yang sama untuk mendapatkan manfaat dari apa yang dapat dilakukan oleh teknologi dalam kehidupan. Belakangan saya mencoba memahami, berempati, dan terutama bersabar ketika membantu rekan senior yang mengalami kesulitan teknologi. Saya mencoba melihat dari sisi – sebagai warga senior, generasi baby boomer memiliki pengalaman hidup, ilmu, dan keterampilan, serta nilai-nilai kebijaksanaan dan moral, yang dapat menjadi kontribusi positif bagi generasi milenial dalam mengembangkan, dan menggunakan teknologi. Kepribadian yang koheren dan bijak ini merupakan aset berharga dari generasi baby boomer, dan justeru menjadi kompetensi yang diperlukan untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Pengalaman hidup, kematangan, dan kebijaksanaan, menjadi dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru.
Dalam kesulitan menghadapi tantangan teknologi, agaknya tidak ada cara yang paling ampuh selain memantapkan diri menjadi pembelajar sepanjang hayat. Dalam hal ini tentu saya tidak bermaksud “menggurui” rekan-rekan senior dengan memberikan “petuah-petuah” atau semacamnya, karena hal ini sekaligus catatan bagi saya di masa depan - dan untuk itulah saya menulis. Menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat seturut Rosmia dalam risetnya mengenai motivasi belajar lanjut usia sebagai proses belajar sepanjang hayat, ditunjukkan dengan;
1) Memiliki kepribadian yang mantap dan bangga menjadi peserta belajar;
2) Mendewasa, mandiri, dan saling menghargai;
3) Arif, terbuka dan antusias dengan pengetahuan baru; dan
4) Berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan beragam lapisan masyarakat serta kebudayaan.
Saya yakin, rekan-rekan pengajar senior telah matang dengan keempat hal tersebut, sehingga secara teoretik seharusnya tidak ada masalah ketika; seseorang yang telah memantapkan diri sebagai pembelajar sepanjang hayat harus berhadapan dengan tantangan teknologi. Namun dalam praksisnya terkadang ada faktor pendukung dan faktor penghambat yang memiliki andil besar dalam proses belajar orang dewasa.
Mengenali Diri dan Lingkungan Belajar
Seturut Rosmia, ada beberapa faktor yang berperan dalam proses belajar orang dewasa (generasi baby boomer); pertama, adalah faktor internal, yakni dukungan dari orang-orang terdekat dan/atau keluarga. Kedua, faktor eksternal, yakni sejauh mana fasilitator belajar mampu memberikan suasana belajar kondusif, dan komunikasi beserta fasilitas pendukung yang efektif dan representatif. Bagi seorang pengajar senior yang menghadapi tantangan teknologi, maka di samping memantapkan diri menjadi seorang pembelajar sepanjang hayat, langkah pertama yang hendaknya dilakukan adalah meraih dukungan dan simpati dari orang-orang terdekat, serta menemukan lingkungan belajar yang memberikan energi positif untuk belajar. Orang-orang terdekat dalam hal ini bisa keluarga, kolega, atau komunitas. Dalam meraih dukungan dan simpati dari mereka dapat dilakukan dengan menunjukkan kesungguhan belajar, terbuka terhadap pengetahuan dan/atau keahlian baru,sabar serta tidak menuntut jalan pintas dalam menyelesaikan suatu tujuan berkenaan dengan teknologi. Hal ini semisal tidak memotong penjelasan mengenai suatu cara/langkah-langkah dari seseorang yang berusaha membantu, karena berharap kemudahan atau jalan pintas.
Belajar sepanjang hayat. Foto oleh : Priscilla du Preez – unsplash.com (Creative Common Lisence) |
Langkah kedua, menemukan fasilitator dan platform belajar yang tepat. Seorang pengajar senior, tentunya memiliki kesibukan yang cukup padat. Hal ini juga termasuk dukungan dana yang diperlukan untuk biaya penyelenggaraan program belajar dan keberlangsungan belajar yang kerap tidak murah. Suatu hari ketika berselancar di dunia maya, muncul pertanyaan dalam benak saya; situasi pandemi COVID 19 menjadi katalisator lahirnya banyak platform pembelajaran jarak jauh, dan memang kebanyakan diperuntukkan bagi para siswa/mahasiswa, atau pembelajar umum. Padahal, kajian mengenai hambatan pembelajaran jarak jauh di Indonesia di masa pandemi COVID 19 yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), menunjukkan bahwa hambatan juga terjadi pada keterampilan guru dalam menggunakan platform pembelajaran daring di Indonesia.
Lebih lanjut, kajian yang dilakukan oleh CIPS menunjukkan bahwa pembelajaran jarak jauh telah menjadi hambatan yang dirasakan paling luas di sektor pendidikan bahkan di saat pra-pandemi, namun krisis yang terjadi saat ini mempercepat adopsi pelaksanaannya. Oleh karena itu penting untuk meningkatkan keterampilan pembelajaran jarak jauh dalam program pelatihan guru-guru. Namun – guru senior – sebagai orang dewasa, tentu telah tumbuh sebagai pribadi yang memiliki kematangan konsep diri, dan telah bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak, menuju kemandirian atau pengarahan diri sendiri. Artinya, sebagai seorang pengajar, yang notabene juga “pembelajar dewasa”, tidak perlu menunggu adanya program pelatihan bagi guru untuk belajar teknologi pembelajaran, atau terlalu menggantungkan diri kepada orang yang lebih muda untuk menyelesaikan tantangan teknologi. Tidak hanya kehilangan simpati dan dukungan dalam belajar, menggantungkan diri kepada orang lain hanya akan membuat mereka semakin menghindar. Untuk itu, kemampuan belajar mandiri sangat diperlukan, dan hal ini – saya yakin – tidak ada masalah pada orang dewasa, apalagi seorang guru senior. Tinggal sekarang bagaimana seseorang yakin terhadap kemampuan yang dimilikinya.
Lalu, adakah platform yang memberikan kesempatan belajar bagi pengajar (terutama pengajar senior) untuk belajar mandiri dalam menghadapi tantangan teknologi, dan terutama mendudukkan pengajar sebagai pembelajar sepanjang hayat? Tentu akan ada banyak pilihan platform, salah satunya SimpaTIK yang dikembangkan oleh Kemendikbud. SimpaTIK merupakan sistem informasi manajemen pelatihan berbasis TIK untuk mendukung pengembangan keprofesian berkelanjutan baik untuk guru, tenaga kependidikan, dan masyarakat umum. Di samping belajar “cara belajar dan mengajar” secara virtual, tak ada salahnya – dan justru penting bagi guru senior untuk mengikuti productivity course seperti; cara menggunakan Google Classroom untuk mengajar di kelas sekolah, teknik membuat animasi sederhana menggunakan Microsoft Powerpoint, atau cara merekam materi pembelajaran melalui screen recorder (OBS). Di samping interaksi tatap muka melalui online meeting platform, perekaman materi pembelajaran menjadi keterampilan yang penting bagi guru. Sebagaimana yang direkomendasikan oleh CIS, untuk kesuksesan adopsi pembelajaran jarak jauh, guru perlu untuk tidak hanya memiliki keterampilan teknologi dasar (seperti menggunakan komputer dan tersambung ke internet), tetapi juga pengetahuan untuk menggunakan perangkat rekaman dan perangkat lunaknya, serta metode untuk menyampaikan pelajaran tanpa interaksi tatap muka.
Demikianlah memantapkan diri untuk bertransformasi menjadi pembelajar sepanjang hayat bagi seorang pengajar senior; yakni dengan meraih dukungan dari orang-orang terdekat, menemukan lingkungan belajar yang memberikan energi positif untuk belajar, serta menemukan fasilitator dan platform belajar yang tepat. Hal ini dapat diperlakukan sebagai salah satu cara bersikap di saat problem komunikasi interpersonal dalam dunia cyber; dan problem teknologi - menjadi dua spektrum yang hadir bersamaan di masa pandemi. Reynaldo Balberde, seorang guru sekolah dasar di Filipina, ketika pandemi COVID-19 yang mengharuskan pembelajaran daring, usianya telah menginjak 61 tahun. Tiga minggu pertama menjalani pembelajaran jarak jauh, ia cukup tertekan dan frustasi. Namun setelah mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekat, dan menemukan lingkungan belajar yang tepat – kini, ia tidak hanya telah menyesuaikan diri dengan teknologi, lebih dari itu, membantu murid-muridnya yang kesulitan dalam menghadapi tantangan teknologi.
Perubahan akan terjadi ketika seseorang memutuskan untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat. Awal semester ganjil 2020/2021, saya mencoba untuk melengkapi diri dengan beberapa teknologi pendukung seperti sound card, headphone, condenser microphone, HD webcam, dan juga ring light. Meski saya millenials, beberapa diantaranya belum pernah saya gunakan sebelumnya. Tak hanya itu, segera saya mengakrabi perangkat lunak seperti OBS, Audacity, dan beberapa Learning Management System (LMS). Laiknya seorang Youtuber atau host/broadcaster Likee, saya mencoba memperbarui cara berkomunikasi interpersonal dalam pembelajaran daring. Bagi saya, belajar bisa kepada siapapun, kapanpun, dalam cara apapun, dan tentu - menjadi bahagia dan membahagiakan dalam belajar amatlah penting di masa krisis seperti sekarang ini. Karena di sinilah awal inovasi serta transformasi untuk kemandirian dan kemajuan bangsa – yakni kerelaan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Selamat belajar untuk kita semua!
Penulis : Aditya Nirwana [Dosen Universitas Ma Chung, Malang]
KOMENTAR