Baca Juga :
Melalui resolusi 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB pada rapat ke- 58 menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti-Korupsi Sedunia. Ditetapkannya tanggal 9 Desember sebagai Hari Anti-Korupsi Sedunia merupakan manifestasi dari bentuk perhatian dan kewaspadaan dunia terhadap bahayanya korupsi. Hari Anti-Korupsi bertujuan untuk membangkitkan kesadaran dan kewaspadaan seluruh masyarakat dunia terhadap maraknya korupsi.
Selain itu, dihadapan 191 Anggota Majelis Umum PBB, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Anan mengatakan bahwa “Praktik korupsi sangat melukai perasaan kaum miskin. Korupsi menjadi penyebab utama memburuknya perekonomian suatu bangsa, dan menjadi penghalang upaya mengurangi kemiskinan dan pembangunan”.
Seorang akademisi Amerika, Robert Klitgaard mengatakan bahwa korupsi adalah “suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan stastus atau uang yang menyangkut diri pribadi atau perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi”.
Permasalahan terkait korupsi masih menjadi problematika serius yang seakan sulit diatasi diberbagai negara di dunia, salah satunya di negara Indonesia. Di Indonesia korupsi laksana arisan para pejabat negeri yang seakan hanya menunggu giliran untuk mendapatkan predikat koruptor yang rakus akan kekayaan bumi pertiwi. Sudah tak terhitung lagi para pejabat negara mulai dari Menteri, Kepala Daerah, Hakim, Jaksa, Polisi, Anggota Dewan (DPR), hingga sampai Ketua MK sudah pernah diciduk dan dicocok oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kasus terkini, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan kemudian menyusul Menteri Sosial Juliari Batubara juga ditangkap olek KPK.
Secara eksplisit, terjadinya tindakan korupsi setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Corruption by Greed (keserakahan). Korupsi ini terjadi pada orang yang sebenarnya tidak butuh atau bahkan sudah kaya. Namun karena mental serakah dan rakus menyebabkan mereka terlibat korupsi. Kasus korupsi karena keserakahan inilah yang banyak terjadi di lingkungan pejabat tinggi negara.
Kedua, corruption by need (kebutuhan). Korupsi ini disebabkan karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic need). Korupsi ini banyak dilakukan oleh karyawan atau pegawai kecil, polisi atau prajurit rendah dan lain-lain.
Ketiga, corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan jelas karena adanya peluang yang besar untuk berbuat korup, peluang besar untuk cepat kaya secara pintas, peluang naik jabatan secara instan, dan sebagainya. Biasanya ini didukung dengan lemahnya sistem organisasi, rendahnya akuntabilitas publik, serta lemahnya hukum.
Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara Indonesia merupakan korupsi yang dilakukan atas dasar keserakahan mengingat para pelaku korupsi di Indonesia merupakan orang-orang yang secara ekonomi telah mencukupi. Hal demikian tentunya menjadi sebuah indikasi bahwa negara kita butuh pejabat negara yang peduli kepada rakyat dalam artian dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Pejabat negara seyogyanya adalah sosok yang harus fokus mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan problematika bangsa dan tidak lagi disibukkan dengan urusan pribadi termasuk melakukan tindakan untuk memperkaya diri dengan cara berkorupsi.
Sejarah telah mencatat bahwa dahulu kala terdapat sosok pejabat negara sekaligus politisi yang telah menyerap serta menumbuhkan nilai kepribadian sebagai seorang pemimpin yang telah mengukir kegemilangan sebuah masa dengan tinta emas. Sebut saja Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Cyndia Adams, penulis biorafinya menyebutkan “simpanlah uangmu pada Bung Karno, yakinlah uangmu tidak akan berkurang. Sebab kekayaan bagi Bung Karno tidak begitu penting. Rakyat Indonesia tau bahwa Bung Karno tidak akan tergiur dengan uang”.
Apa yang tidak bisa Soekarno lakukan sebagai seorang Presiden, sebagai seorang pendiri bangsa, atas nama orang yang telah berjasa besar bagi berdiri bangsa Indonesia. Tapi, beliau tak lakukan itu karena harga diri, moralitas dan integritasnya lebih mahal dari pada uang yang bahkan bergambar diri.
Bergeser kepada tokoh bangsa lainnya yaitu Moh. Hatta seorang Wakil Presiden yang sampai pensiunnya beliau dari jabatannya tidak mampu membeli sepatu bermerek Bally hanya karena tidak memiliki uang. Uang pensiunan sebagai Wakil Presiden dan uang hasil menulis diberbagai kolom media hanya cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan minum dan makan. Tidak hanya itu, Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta pernah dibuat tercengang oleh Bung Hatta karena beliau meminta pemotongan tunggakan listrik yang menunggak akibat terkuras dengan biaya sekolah anak-anaknya.
Jikalau Bung Hatta mau, semua bisa beliau lakukan atas nama pendiri Bumi Pertiwi. Tetapi apa yang beliau lakukan merupakan sesuatu yang luar biasa karena dapat mengontrol kuasanya saat berada dipuncak kekuasaan.
Begitulah sosok pemimpin-pemimpin besar bangsa terdahulu, mereka laksana matahari yang tidak hanya terbit tetapi terbenam pun meninggalkan kesan yang sangat indah. Bangsa Indonesia perlu berkaca pada kisah klasik pemikir-pemikir besar, pemimpin-pemimpin besar bangsa ini dahulu, sebab selalu ada secercah nilai yang menubuh dan menyejarah dan tak akan pernah lekang oleh waktu.
Sosok Bong Karno dan Bung Hatta adalah pemimpin-pemimpin besar negara yang dulu berkesempatan bergelimang harta dengan kewenangan dan kekuasaannya yang bisa dipergunakan untuk hidup bermewah-mewahan. Tetapi, mereka tidak melakukannya. Sosok seperti itulah yang sekiranya kita rindukan untuk menduduki singgasana kekekuasaan negara. Sosok pemimpin yang sekaligus pejabat negara yang selesai dengan dirinya sendiri, bergerak untuk mengsejahterakan rakyat dan bertindak untuk kemajuan bangsa dan negara.
Pejabat negera yang selesai dengan dirinya tentunya akan menjadi jawaban yang menjadi salah satu penyelesaian keakutan mental korup yang menciderai entitas dan jati diri bangsa. Selain itu, gema reformasi sebagai penanda pemusnahan akan praktek korupsi tentu akan tercapai sebagaimana mestinya. Ditangan para pejabat publik yang selesai dengan dirinya akan melahirkan bangsa yang syarat akan nilai-nilai positif dalam upaya mencapai tujuan negara sebagaimana termuat dalam konstitusi dan falsafah negara.
Penulis : Muhamad Sulaeman
Selain itu, dihadapan 191 Anggota Majelis Umum PBB, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Kofi Anan mengatakan bahwa “Praktik korupsi sangat melukai perasaan kaum miskin. Korupsi menjadi penyebab utama memburuknya perekonomian suatu bangsa, dan menjadi penghalang upaya mengurangi kemiskinan dan pembangunan”.
Seorang akademisi Amerika, Robert Klitgaard mengatakan bahwa korupsi adalah “suatu tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan stastus atau uang yang menyangkut diri pribadi atau perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri, atau dengan melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi”.
Permasalahan terkait korupsi masih menjadi problematika serius yang seakan sulit diatasi diberbagai negara di dunia, salah satunya di negara Indonesia. Di Indonesia korupsi laksana arisan para pejabat negeri yang seakan hanya menunggu giliran untuk mendapatkan predikat koruptor yang rakus akan kekayaan bumi pertiwi. Sudah tak terhitung lagi para pejabat negara mulai dari Menteri, Kepala Daerah, Hakim, Jaksa, Polisi, Anggota Dewan (DPR), hingga sampai Ketua MK sudah pernah diciduk dan dicocok oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Kasus terkini, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan kemudian menyusul Menteri Sosial Juliari Batubara juga ditangkap olek KPK.
Secara eksplisit, terjadinya tindakan korupsi setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Corruption by Greed (keserakahan). Korupsi ini terjadi pada orang yang sebenarnya tidak butuh atau bahkan sudah kaya. Namun karena mental serakah dan rakus menyebabkan mereka terlibat korupsi. Kasus korupsi karena keserakahan inilah yang banyak terjadi di lingkungan pejabat tinggi negara.
Kedua, corruption by need (kebutuhan). Korupsi ini disebabkan karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic need). Korupsi ini banyak dilakukan oleh karyawan atau pegawai kecil, polisi atau prajurit rendah dan lain-lain.
Ketiga, corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan jelas karena adanya peluang yang besar untuk berbuat korup, peluang besar untuk cepat kaya secara pintas, peluang naik jabatan secara instan, dan sebagainya. Biasanya ini didukung dengan lemahnya sistem organisasi, rendahnya akuntabilitas publik, serta lemahnya hukum.
Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara Indonesia merupakan korupsi yang dilakukan atas dasar keserakahan mengingat para pelaku korupsi di Indonesia merupakan orang-orang yang secara ekonomi telah mencukupi. Hal demikian tentunya menjadi sebuah indikasi bahwa negara kita butuh pejabat negara yang peduli kepada rakyat dalam artian dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Pejabat negara seyogyanya adalah sosok yang harus fokus mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan problematika bangsa dan tidak lagi disibukkan dengan urusan pribadi termasuk melakukan tindakan untuk memperkaya diri dengan cara berkorupsi.
Sejarah telah mencatat bahwa dahulu kala terdapat sosok pejabat negara sekaligus politisi yang telah menyerap serta menumbuhkan nilai kepribadian sebagai seorang pemimpin yang telah mengukir kegemilangan sebuah masa dengan tinta emas. Sebut saja Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno dalam Cyndia Adams, penulis biorafinya menyebutkan “simpanlah uangmu pada Bung Karno, yakinlah uangmu tidak akan berkurang. Sebab kekayaan bagi Bung Karno tidak begitu penting. Rakyat Indonesia tau bahwa Bung Karno tidak akan tergiur dengan uang”.
Apa yang tidak bisa Soekarno lakukan sebagai seorang Presiden, sebagai seorang pendiri bangsa, atas nama orang yang telah berjasa besar bagi berdiri bangsa Indonesia. Tapi, beliau tak lakukan itu karena harga diri, moralitas dan integritasnya lebih mahal dari pada uang yang bahkan bergambar diri.
Bergeser kepada tokoh bangsa lainnya yaitu Moh. Hatta seorang Wakil Presiden yang sampai pensiunnya beliau dari jabatannya tidak mampu membeli sepatu bermerek Bally hanya karena tidak memiliki uang. Uang pensiunan sebagai Wakil Presiden dan uang hasil menulis diberbagai kolom media hanya cukup untuk sekedar memenuhi kebutuhan minum dan makan. Tidak hanya itu, Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta pernah dibuat tercengang oleh Bung Hatta karena beliau meminta pemotongan tunggakan listrik yang menunggak akibat terkuras dengan biaya sekolah anak-anaknya.
Jikalau Bung Hatta mau, semua bisa beliau lakukan atas nama pendiri Bumi Pertiwi. Tetapi apa yang beliau lakukan merupakan sesuatu yang luar biasa karena dapat mengontrol kuasanya saat berada dipuncak kekuasaan.
Begitulah sosok pemimpin-pemimpin besar bangsa terdahulu, mereka laksana matahari yang tidak hanya terbit tetapi terbenam pun meninggalkan kesan yang sangat indah. Bangsa Indonesia perlu berkaca pada kisah klasik pemikir-pemikir besar, pemimpin-pemimpin besar bangsa ini dahulu, sebab selalu ada secercah nilai yang menubuh dan menyejarah dan tak akan pernah lekang oleh waktu.
Sosok Bong Karno dan Bung Hatta adalah pemimpin-pemimpin besar negara yang dulu berkesempatan bergelimang harta dengan kewenangan dan kekuasaannya yang bisa dipergunakan untuk hidup bermewah-mewahan. Tetapi, mereka tidak melakukannya. Sosok seperti itulah yang sekiranya kita rindukan untuk menduduki singgasana kekekuasaan negara. Sosok pemimpin yang sekaligus pejabat negara yang selesai dengan dirinya sendiri, bergerak untuk mengsejahterakan rakyat dan bertindak untuk kemajuan bangsa dan negara.
Pejabat negera yang selesai dengan dirinya tentunya akan menjadi jawaban yang menjadi salah satu penyelesaian keakutan mental korup yang menciderai entitas dan jati diri bangsa. Selain itu, gema reformasi sebagai penanda pemusnahan akan praktek korupsi tentu akan tercapai sebagaimana mestinya. Ditangan para pejabat publik yang selesai dengan dirinya akan melahirkan bangsa yang syarat akan nilai-nilai positif dalam upaya mencapai tujuan negara sebagaimana termuat dalam konstitusi dan falsafah negara.
Penulis : Muhamad Sulaeman
KOMENTAR