Baca Juga :
Pepatah klasik mengatakan; “Gajah Mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama”. Tentang pepatah klasik ini, mari kita mencoba melihat satu kisah yang terjadi 75 tahun yang lalu dan 50 tahun lalu. Ada dua peristiwa besar terjadi di sana. Yakni pada 75 tahun yang lalu tepatnya pada 17 Agustus 1945, Soekarno bersama Hatta memproklamirkan kemerdekan Indonesia. Soekarno sebagai Bapa Bangsa telah berjuang untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajah melalui orasi dan diplomasi.
Soekarno mempunyai andil besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kendati banyak yang masih menyimpan stikma buruk terhadap bapa bangsa ini. Namun amal baik beliau telah diperhitungkan. Terlepas dari semua pikiran yang tidak sehat tentang beliau. Kisah G30S PKI tahun 1965 menjadi catatan “kelam” sang Proklamator. Namun keyakinan kita tetap teguh bahwa berkat jasanya Indonesia boleh mengepak sayap kemerdekaan hingga kini.1. Seorang “Tawanan” Hingga Akhir Hayat
Cahaya lantera Soekarno meredup ketika puncak kepemimpinan diambil alih oleh Soeharto berdasarkan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR). Sejak saat itu, pergerakan Sang Proklamator diawasi dengan ketat oleh Presiden Soharto. Dikisahkan bahwa Soekarno tidak diizinkan oleh Soeharto untuk masuk ke dalam Istana setelah mengelilingi Jakarta pada bulan Mei 1967. Sang Prokmalator dikenai tahanan kota dan menetap di Wisma Yaso (Sekarang Museum Satria Mandala, Jakarta) sampai akhir tahun 1967. Miris rasanya mendengar dan mengetahui kisah Sang Proklamator di ujung hayatnya.Sang Proklamator diperlakukan sebagai tahanan politik oleh rezim Soeharto. Saat mendekam di Wisma Yaso, Sang Prokmalator mengalami masa-masa sulit yang tidak layak bagi seorang Pahlawan Bangsa. Selama menjadi tahanan politik, ia tidak pernah mendapatkan gaji pensiun sebagai seorang mantan presiden. Selain keuangan, Sidarto Danusubroto, mantan Ajudan Sang proklamator mengisahkan bahwa semua fasilitas kenegaraan juga dibatasi ketat untuk Soekarno. Termasuk juga fasilitas dokter kepresidenan untuk memeriksa kesehatannya.
2. Soekarno “Susah” Di akhir Hayat
Balada sendu Sang Proklamator tidak hanya berhenti di rumah tahanan. Miris rasanya seorang tokoh nasional diperlakukan dengan tidak wajar. Berkat seorang ajudannya, Sang Proklamator berhasil mendapat uang tunai 10.000 dollar AS. Uang tersebut dihantar oleh puteri sulungnya, Megawati Soekarno Puteri. Saat itu, Soeharto sangat membatasi kontak dengan Soekarno dan setiap orang yang ingin berkontak dengan Soekarno diperiksa dengan ketat dan uang yang dicari pun disembunyikan agar tidak diketahui oleh Soeharto.Tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan siapapun terkait derita sang proklamator. Namun tulisan ini sekadar membangkitkan memori kita untuk selalu mengenang semua kisah dan sejarah. Sebab Pak Karno sendiri pernah berujar bahwa jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Ini sangat penting agar setiap generasi anak bangsa selalu belajar dari pengalaman agar tidak jatuh pada kesalahan yang sama.
3. Model Keteladanan Nasionalis
Soekarno, lahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo di Biltar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun. Ia juga pernah berujar demikian “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir bangsa asing. Tetapi perjuanganmu akan sulit karena melawan bangsamu sendiri”. Akhir-akhir ini, di media sosial, kita menjumpai banyak ujaran kebencian yang mendiskreditkan beberapa kelompok suku, ras dan agama yang tidak sesuai dengan kehendak mayoritas. Situasi ini memperpuruk citra bangsa adan tanah air. Namun sebagai anak bangsa, sepatutnya harus selalu ada rasa syukur boleh hidup di satu tanah air dan satu bangsa yang sama yakni Indonesia.Soekarno menjadi model untuk hidup berdampingan sebab, bangsa ini bukan hanya milik satu suku, ras dan satu agama. Tetapi milik semua orang yang mendiami nusantara dari Sabang sampai Merauke. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda hendaknya selalu berpikir kritis agar semua kejadian dan peristiwa di tanah air tidak boleh diselesaikan dengan sistem “main hakim sendiri”. Kita adalah saudara sebab kita dilahirkan oleh satu cerita yang sama yakni sama-sama dijajah Belanda selama 350 tahun.
4. Serambi Untuk Soekarno di Ende
Soekarno beberapa kali mengalami pengasingan oleh pihak Belanda. Tatkala menjalani masa pengasingan di Ende, ia membangun kerja sama dengan para Misionaris Belanda yang sedang berkarya di Flores. Sebagai penghormatan kepada Sang Proklamator, maka pihak SVD membuat sebuah serambi untuk mengenang sang Tokoh Nasional. Lalu pada 14 Januari 2019 lalu Provinsial SVD P. Lukas Jua, SVD meresmikan serambi tersebut. Serambi ini sebagai satu kisah sejarah saat Soekarno berada berada bersama para Misionaris di Kota Ende. Serambi Bung Karno Ende merupakan Situs bangunan sejarah yang terletak di Biara Santo Yosef Kathedral Ende yang didirikan untuk mengenang dan menghormati jejak sejarah perjuangan dan persahabatan Bung Karno dengan para tokoh misionaris SVD terutama Pater Geradus Huijtink, SVD dan Pater Dr. Johannes Bouma, SVD pada masa-masa pembuangan Bung Karno di Ende 14 Janauari 1934 sampai dengan 18 Oktober 1938.Sejarah mencatat bahwa Kota Ende adalah rahim Pancasila. Ketika Soekarno duduk merenung di bawah pohon sukun bercabang lima, ia pun memikirkan konsep Pancasila untuk Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Mari kita selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas Pancasila yang telah dianugerahkan-Nya kepada bangsa Indonesia melalui seorang tokoh legendaris bangsa, Soekarno. Mari kita belajar hidup secara nasionalis dari beliau. Kenangan 50 tahun kematian sang Proklamator sejatinya menjadi satu dorongan untuk bekerja sama membangun bangsa ini dari jarajahan fitnahan, radikalisasi dan diskriminasi. Kita satu dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai ke Rote. Itulah Indonesia.
Penulis : Jondry Siki
Soekarno. Photo via popharini.com |
KOMENTAR