Baca Juga :
Pada Selasa (27/9) pagi, Natarius Gerson Lau tewas tertembak oleh Aparat Kepolisian Polres Belu di Motamaro, Sukabitetek, Kecamatan Raimanuk, Kabupaten Belu, Propinsi NTT. Remaja berusia 18 Tahun itu mengalami luka tembak depat di punggung sebelah kanan hingga tembus ke dada
Tentu saja daftar kasus pistol polisi menyalak tidak pada tempatnya bukan cuma itu. Sepanjang 2022 saja, pencarian singkat akan membuat kita menemukan kasus penyalahgunaan senjata api di Papua, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, dan yang paling menyeramkan: di Jakarta.
Koordinator Pusat Kajian Militer dan Kepolisian Andy Suryadi menegaskan masalah laten penyalahgunaan senjata api semestinya diselesaikan secara internal oleh kepolisian. Kasus penembakan oleh aparat mengindikasikan rangkaian tes yang dilakukan internal kepolisian sebelum memberikan senjata api kepada anggota, belum maksimal.
“Problemnya hampir sama, yakni kurangnya pengawasan dan penindakan yang tidak tegas, atau tegas tapi kurang disosialisasikan. Seharusnya penindakan semisal dilakukan dengan tegas, harus disampaikan ke anggota lain agar menimbulkan efek jera,” kata Andy dilansir Tribunnews. “Perlu dicek berulang kali kondisi psikologi anggota apakah ada masalah soal itu [kesehatan mental].”
Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan pimpinan Polri harusnya dituntut bertanggung jawab atas setiap penembakan yang terjadi. “Kapolri harusnya memperhatikan kesehatan mental dan jasmani para anggotanya. Kalau tidak melakukan itu, artinya pimpinannya abai dan juga wajib dikenai sanksi,” kata Bambang kepada Republika.
Kompolnas pernah melakukan survei penyalahgunaan senjata api di 34 Polda pada 2021. Hasilnya, ditemukan 784 kasus dalam rentang 2010-2021. Kesalahan terbanyak adalah kehilangan senjata api sebanyak 18,49 persen.
Redaksi Fianosa
Dari hasil informasi sementara bahwa Natarius ternyata ditembak oleh Aparat Kepolisian Polres yakni Brigpol RRS. Dugaan sementara penembakan tersebut terjadi saat polisi melalukan pengejaran terhadap korban yang menjadi buronan (DPO) dalam kasus perkelahian dengan sopir tangki pada 6 September 2022 lalu di di Fatubenao, Kelurahan Kota Atambua, Kabupaten Belu.
Dalam pengejaran terhadap korban, seorang anggota buser yakni Brigpol RRS mengejar tersangka sambil melepaskan tembakan peringatan sebanyak tiga kali. Korban yang terus melarikan diri ke arah jalan menurun menuju legong, kemudian Brigpol RRS pun lalu mengarahkan moncong senjatanya ke arah kaki Korban lalu menembak dengan tujuan untuk melumpuhkannya. Tapi tembakan tersebut malah mengenai punggung belakang korban yang langsung terjatuh dan meninggal dunia.
Sebagai bentuk protes, Keluarga korban penembakan Aparat Polres Belu memapah dan mengarak jenazah Natarius Derson Lau dengan tandu jenasah dan disimpan di halaman Polres Belu, persis dihadapan Kapolres Belu, AKBP Yoseph Krisbiyanto dan sejumlah aparat lainnya.
Keluarga korban kemudian bersama masyarakat membawa jenazah Natarius ke Kantor DPRD Belu dan menempatkan di lobi DPRD Belu, yang kemudian diterima oleh Ketua DPRD Belu, Jeremias Manek Seran Jr dan wakil ketua II DPRD Belu saat menerima massa.
Kepada keluarga korban DPRD mengatakan bahwa pihaknya akan bekerjasama Pemerintah dan Kepolisian mengusut kasus ini secara tuntas.
Kesehatan Mental Aparat Menjadi Sorotan
Kejadian tersebut diatas adalah kesekian kali ada temuan aparat polisi tak mampu menjaga emosi sehingga main tembak. Rekap korbannya meliputi sesama polisi dan warga sipil. Baru Juli kemarin di Sulawesi Utara misalnya, seorang anggota Polsek Bunaken menembak warga sipil berinisial RL (38) bahkan di depan mata anak dan istri korban kemudian terjadi lagi Polisi tembak polisi, pada kasus Ferdy Sambo dan terakhir adalah kasus polisi tembak polisi pada 4 September 2022 di Lampung Tengah,
Tentu saja daftar kasus pistol polisi menyalak tidak pada tempatnya bukan cuma itu. Sepanjang 2022 saja, pencarian singkat akan membuat kita menemukan kasus penyalahgunaan senjata api di Papua, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, dan yang paling menyeramkan: di Jakarta.
Koordinator Pusat Kajian Militer dan Kepolisian Andy Suryadi menegaskan masalah laten penyalahgunaan senjata api semestinya diselesaikan secara internal oleh kepolisian. Kasus penembakan oleh aparat mengindikasikan rangkaian tes yang dilakukan internal kepolisian sebelum memberikan senjata api kepada anggota, belum maksimal.
“Problemnya hampir sama, yakni kurangnya pengawasan dan penindakan yang tidak tegas, atau tegas tapi kurang disosialisasikan. Seharusnya penindakan semisal dilakukan dengan tegas, harus disampaikan ke anggota lain agar menimbulkan efek jera,” kata Andy dilansir Tribunnews. “Perlu dicek berulang kali kondisi psikologi anggota apakah ada masalah soal itu [kesehatan mental].”
Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto mengatakan pimpinan Polri harusnya dituntut bertanggung jawab atas setiap penembakan yang terjadi. “Kapolri harusnya memperhatikan kesehatan mental dan jasmani para anggotanya. Kalau tidak melakukan itu, artinya pimpinannya abai dan juga wajib dikenai sanksi,” kata Bambang kepada Republika.
Kompolnas pernah melakukan survei penyalahgunaan senjata api di 34 Polda pada 2021. Hasilnya, ditemukan 784 kasus dalam rentang 2010-2021. Kesalahan terbanyak adalah kehilangan senjata api sebanyak 18,49 persen.
Redaksi Fianosa
Ilustrasi Pistol |
KOMENTAR