Qomarudin si TNI AL Gadungan. Foto dari news.detik.com (istimewa) |
Belakangan ini, penggunaan media sosial telah merevolusi dunia ke-humas-an militer dan kepolisian. Media sosial kini seakan menjadi mercusuar bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk membangun citra aparat yang positif dalam menjalankan fungsi pertahanan dan keamanan dan menarik simpati masyarakat.
Tak jarang kita melihat aparat militer dan polisi “unjuk seragam” di sosial media untuk menaikan popularitas. Akun pribadi anggota TNI maupun Polri di media sosial, terutama Instagram, memiliki lebih banyak pengikut dibandingkan dengan akun resmi kesatuannya.
Popularitas akun-akun ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, popularitas mereka di media sosial dapat menjadikan aparat-aparat tersebut diketahui publik. Hal itu secara tidak langsung akan membuat instansi mereka tertuntut untuk jadi lebih transparan.
Di sisi lain, popularitas para aparat ini kemudian menjadi referensi bagi mereka yang berniat buruk dengan menjadi aparat gadungan.
Aparat gadungan bukanlah fenomena baru. Namun, pemberitaan terkait aparat gadungan seringkali hanya menghakimi “halusinasi” para pelaku tanpa mempertanyakan mengapa ada warga sipil yang mau dan nekat mengimitasi citra aparat keamanan.
Di balik keuntungan finansial yang biasanya didapat dari aksi penipuan, apa saja faktor lain yang mendorong seseorang untuk nekat menjadi anggota TNI dan Polri gadungan?
1. Kemewahan impunitas
Kekebalan aparat keamanan dan militer di depan hukum adalah salah satu masalah yang menggerogoti iklim demokrasi di Indonesia dan merisaukan masyarakat.
Kasus-kasus yang menjadi sorotan khalayak luas seperti eks anggota Tim Mawar yang berkarier di militer dengan lancar. Tim Mawar adalah tim kecil yang dibuat oleh kesatuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang ditengarai menjadi dalang dari operasi penculikan para aktivis politik pro-demokrasi tahun 1998.
Ada juga aparat kepolisian yang bebas dari jerat pidana dalam tragedi Kanjuruhan. Contoh tersebut menunjukkan bahwa aparat berseragam memang kerap imun dari perkara hukum.
“Kekuatan super” ini tidak hanya mencederai prinsip kesetaraan di muka hukum tetapi turut memberi alasan bagi warga sipil untuk menjadi TNI dan Polri gadungan.
Sebagai contoh, ZA, lelaki asal Banyuwangi, yang mengaku anggota TNI dari Intel Pasukan Perintis Mabes (kesatuan yang tidak pernah ada) ditangkap setelah memeras dua orang pengusaha di kampung halamannya.
Ketika beroperasi, ZA mengenakan seragam loreng dan sepatu lars sebagaimana seorang prajurit TNI. Di hadapan aparat kepolisian setempat, ZA mengaku bahwa penyamarannya sebagai anggota intel kerap digunakan untuk mengakali hukum.
Konteks seperti di atas tidak hanya ditemukan pada kasus ZA. Keinginan untuk tidak tersentuh hukum menjadi salah satu faktor yang jamak dan inklusif ditemui di antara TNI dan Polri gadungan.
Tindakan mereka jamak dilakukan karena tidak hanya menjadi dasar untuk menipu, tetapi juga melakukan tindak pidana lain seperti penggelapan uang hingga kekerasan seksual. Sedangkan inklusif beerarti aksi ini tidak hanya ditemukan pada pelaku laki-laki, tapi juga perempuan TNI dan Polwan gadungan.
2. Simbol maskulinitas
Di Indonesia, kaitan antara militer dengan maskulinitas turut dibangun oleh pembentukan identitas bangsa yang berpondasikan sejarah yang militeristik dan didominasi oleh narasi terkait peperangan.
Historiografi demikian kemudian turut menciptakan anggapan bahwa laki-laki berseragam – baik tentara maupun polisi – adalah aktor terpenting di balik eksistensi dan keberlangsungan negara, bangsa, serta masyarakat.
Konstruksi seperti di atas dapat menjelaskan menjamurnya pandangan [real men are soldiers, real soldiers are men] (pria sejati adalah tentara, tentara adalah pria sejati) dalam masyarakat Indonesia. Ironisnya, pandangan ini tidak hanya diusung oleh laki-laki, tapi juga diamini banyak perempuan.
Di media sosial, asosiasi seragam dengan maskulinitas “dibudidayakan” oleh berbagai akun di sosial media melalui unggahan-unggahan yang seakan memamerkan seragam. Akun ini dapat berupa akun individu ataupun akun pengunggah ulang (repost) dengan keterangan yang mengasosiasikan istilah “TNI”, “Polri”, atau “abdi negara” dengan kata-kata yang bermakna kekaguman, seperti “ganteng”, “cantik, dan "idamanku”.
Salah seorang pelaku berinisial ASP, polisi sekaligus dokter forensik bohongan, menyatakan bahwa ia kerap beraksi menjadi aparat gadungan demi memperdaya 10 korban perempuan, termasuk seorang polwan, berbekal seragam dan tanda kepangkatan yang ia beli sendiri. Secara tidak langsung, ia telah meladeni maskulinitas yang rapuh.
3. Representasi kemapanan
Pemujaan berlebihan terhadap profesi “abdi negara,” yang dianggap memiliki penghasilan tetap dan masa purnatugas yang terjamin, turut berkontribusi dalam maraknya kasus TNI-Polri gadungan.
Dalam promosi rekrutmen atau konten-konten di media sosial, narasi terkait kemapanan ini tidak jarang digaungkan oleh aparat asli dan kerap memojokkan profesi lain terutama yang tak memiliki penghasilan tetap
MSM, lelaki asal Pekalongan yang mengaku sebagai anggota TNI-AU berpangkat prajurit satu, menerangkan bahwa ia hanya ingin meyakinkan keluarga dan kekasihnya bahwa ia telah mendapatkan pekerjaan tetap dan layak.
Sebelum putus asa dan menjadi TNI-AU gadungan, MSM empat kali gagal dalam seleksi calon prajurit TNI.
Pada beberapa kasus, kegagalan dalam seleksi menjadi TNI atau Polri di masa lalu kerap memotivasi seseorang untuk menjadi aparat gadungan.
Apa yang dilakukan, bukan dikenakan
Media sosial telah mendesentralisasi kendali atas konten dari institusi kepada individu. Oleh karena itu, usaha mengendalikan konten dapat dikatakan hampir mustahil.
Walaupun institusi TNI telah mengeluarkan instruksi terkait penggunaan media sosial, TNI dan Polri masih kerepotan mengawasi dampak yang ditimbulkan oleh konten anggotanya terhadap masyarakat.
Sebagai tantangan jangka panjang, TNI dan Polri tentu perlu mengentaskan asosiasi antara instansi mereka dengan citra negatif yang selama ini justru dijajakan: kebal hukum, simbol maskulinitas yang rapuh, dan puncak kemapanan dalam konotasi yang merendahkan.
Upaya tersebut dapat dibarengi dengan mendorong lebih banyak konten yang fokus pada tanggung jawab seorang aparat keamanan alih-alih pesonanya. Harapannya, masyarakat dapat menilai aparat keamanan dari apa yang mereka lakukan dan bukan apa yang mereka kenakan.
Selain itu, masyarakat perlu menyadari bahwa masyarakat yang demokratis hanya dapat diwujudkan dengan peran sipil dan militer yang proporsional.
Penulis :
Satrio Dwicahyo, Dosen Sejarah Militer, Universitas Gadjah Mada
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
KOMENTAR