Rizanna Rosemary, Universitas Syiah Kuala
Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No-Tobacco Day), yang dirayakan setiap 31 Mei, tahun ini mengusung tema “melindungi anak-anak dari campur tangan industri tembakau”. Kampanye global ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mengenai dampak buruk industri tembakau terhadap generasi muda.
Di Indonesia, fokus intervensi pengendalian tembakau lebih banyak ditujukan pada perokok laki-laki. Indonesia memang memiliki tingkat prevalensi perokok laki-laki tertinggi secara global. Jumlah perokok laki-laki Indonesia mencapai kurang lebih 70% dari jumlah populasi produktif. Angka sebesar ini berpotensi menjadi beban negara, khususnya di aspek kesehatan sehingga perlu pengendalian.
Namun, tren peningkatan perilaku merokok juga terjadi pada perempuan, khususnya rokok elektrik. Indonesia bahkan menduduki peringkat ketiga prevalensi perokok perempuan di kawasan ASEAN setelah Myanmar dan Laos.
Dari segi risiko, walau bukan perokok aktif, perempuan tetap terpapar perilaku merokok pria di sekitarnya, termasuk pasangan mereka. Hal ini berdampak pada rentannya populasi usia produktif akibat rokok di Indonesia. Termasuk kelompok perempuan perokok yang memasuki usia pernikahan dan produktif secara seksual (umumnya di rentang usia 25-44 tahun).
Namun, faktanya, perempuan sering diabaikan dalam program pengendalian tembakau di Indonesia. Alih-alih diberdayakan, perempuan justru sering ditempatkan pada stigma yang menjebak. Ini semakin menjauhkan perempuan dari usaha pengendalian tembakau.
Jebakan stigma
Perempuan dalam iklan layanan masyarakat umumnya digambarkan sebagai perokok pasif—korban perilaku para perokok. Perilaku merokok mereka cenderung tidak disetujui dan rentan mengalami stigmatisasi, bahkan dari kalangan perokok perempuan.
Dalam salah satu sesi wawancara,, salah satu perempuan perokok menunjukkan kekesalannya melihat perokok perempuan berusia lebih muda.
“Saya merasa jengkel ketika melihat remaja putri merokok, khususnya ketika mereka berkelompok. Mereka merokok sambil bicara, dan tertawa terbahak-bahak. Ini memalukan. Mereka merokok untuk pamer. Tidak seperti saya, saya merokok ketika saya perlu merokok.” (CM, 35, perokok)
Stigma sosial ini, yang dianggap dapat menekan konsumsi merokok di kalangan perempuan, malah mendorong mereka menjadi perokok tersembunyi dan perokok pemberontak. Dua tipe perokok ini sulit dijangkau oleh kampanye intervensi berhenti merokok dan intervensi kualitas kesehatan.
Perokok tersembunyi dan perokok pemberontak
Studi kualitatif yang saya lakukan tentang perempuan perokok di Indonesia pada 2017, menunjukkan bahwa persepsi dan sikap negatif terhadap perempuan perokok, tidak menjadikan mereka mengurangi dan berhenti dari perilaku berisikonya. Studi pada 39 perempuan (baik perokok dan nonperokok) di dua kota—Banda Aceh dan DKI Jakarta ini menunjukkan dua implikasi dari stigma atas perokok perempuan.
Pertama, perempuan merokok menunjukkan pemberontakan terhadap lingkungan yang secara sosial lebih toleran terhadap perokok pria, tapi tidak pada perempuan. Beberapa perempuan dewasa muda dalam penelitian saya mengungkapkan pengalamannya ketika pasangan (pacar atau suami) menuntut mereka berhenti merokok. Sementara, ketika meminta hal yang sama terhadap pasangannya, mereka justru mendapatkan penolakan.
Sikap pemberontakan (rebel) diam-diam ini diilustrasikan oleh salah satu perempuan perokok berikut:
“Pacar saya merokok dan memaksa saya untuk berhenti merokok. Setiap kali saya bertanya, mengapa dia bisa merokok, dan saya tidak bisa, jawabannya tidak pernah memuaskan saya. Saya tidak suka dia minta saya untuk berhenti, tidak membuat saya ingin berhenti. Jika saya kemudian berhenti, itu bukan karena dia.” (SF, 26)
Kedua, stigma sosial dan standar ganda atas keberadaan perempuan yang merokok di ruang publik, tak mendorong mereka berhenti merokok. Mereka justru terdorong untuk merokok di tempat privat atau tersembunyi, seperti di kamar mandi, kamar kos, dan ruang-ruang yang tidak diakses publik.
Perempuan ini terpaksa mengikuti normal sosial yang berlaku, umumnya untuk menghindari label sebagai ‘perempuan tidak baik’ atau 'ibu yang buruk.’ Alhasil, mereka merokok sembunyi-sembunyi, agar tetap mendapat pengakuan baik di masyarakat.
Keputusan untuk menyembunyikan rokok demi menghindari penilaian negatif orang ini diakui oleh seorang perokok perempuan:
“Sebagai seorang muslim…yang memutuskan untuk mengenakan jilbab berlaku baginya kewajiban lain seperti tidak melakukan hal-hal yang dianggap buruk atau jahat, misalnya merokok. Meski saya tetap tidak bisa berhenti merokok, saya kendalikan kebiasaan merokok dengan tidak akan merokok di tempat umum.” (RN, 37, perokok)
Tantangan pengendalian tembakau untuk perempuan perokok
Hasil studi saya mengindikasikan bahwa stigma sosial yang awalnya berfungsi mencegah perilaku merokok di kalangan perempuan, justru mendorong bertambahnya jumlah perempuan perokok. Walau begitu, jumlah akuratnya sulit diketahui karena tidak terdokumentasi dalam data survei resmi nasional.
Sementara itu, perilaku merokok di kalangan perempuan turut menjustifikasi bertambahnya perilaku perokok pada kelompok perempuan muda atau remaja perempuan. Kelompok remaja putri ini melihat perempuan dewasa perokok sebagai role model. Namun, kebanyakan dari mereka memilih konsumsi rokok elektrik (e-cigarette) atau vape, mengingat regulasi jenis perilaku merokok ini belum jelas.
Selain itu, kehadiran film ‘Gadis Kretek’ turut mementahkan stigma sosial yang menempatkan perempuan perokok sebagai perempuan ‘tidak baik’. Bahkan film ini mendapatkan sambutan positif publik dan disinyalir menghambat upaya pengendalian tembakau terkhusus di Kawasan Asia Tenggara. Padahal, upaya menerapkan pengendalian tembakau komprehensif, salah satunya dengan mengurangi konsumsi merokok masyarakat, sedang ramai digalakkan.
Dampak rokok tidak memandang gender
Kondisi di atas diperparah dengan adanya berbagai dampak dari perilaku berisiko merokok, yang sebenarnya berlaku sama baik pada pria maupun perempuan tapi tidak memperoleh perhatian yang sama besarnya. Seperti:
1. Dampak kesehatan
Dampak kesehatan akibat merokok selalu berfokus pada perokok pria, seperti impotensi dan kanker paru/laring. Sementara itu, dampak kesehatan perokok perempuan jarang terdokumentasi dalam informasi kesehatan (seperti kanker rahim, osteoporosis, dll). Padahal, baik perempuan dan pria perokok sama-sama rentan mengidap penyakit tidak menular kronis (PTM), yang berisiko kematian.
2. Dampak ekonomi-politik
Perempuan kerap dilihat sebagai korban dari perilaku merokok orang lain. Mereka dianggap lemah dan tidak berdaya. Perempuan juga rentan mendapatkan label buruk ketika merokok.
Media semakin memperkuat narasi tersebut dan menjadikan perempuan sebagai komoditas dengan mengabaikan permasalahan mendasar dari perilaku merokok perempuan.
Iklan Layanan Masyarakat (ILM) Bahaya Merokok, misalnya, berfokus pada dampak kesehatan dan dampak ekonomi perempuan non-perokok (perokok pasif) dan anggota keluarganya. Sementara, dalam iklan rokok, walau merek rokok tertentu seperti Camel, ESSE, atau LA Ice, memang ditujukan untuk perempuan, perempuan perokok dibingkai sebagai pendamping maskulinitas pria-pria sukses yang superior, bukan sebagai pelaku dari perilaku berisiko.
Kondisi ini, secara tidak langsung, justru memperkuat stigma atas perempuan perokok di ruang publik sebagai ‘perempuan tidak baik.’
3. Dampak sosial-budaya
Kultur Indonesia yang masih kental dengan patriarki senantiasa menempatkan perempuan dalam beban ganda.
Pertama, sebagai figur yang bekerja di ranah domestik, termasuk urusan pendidikan anak-anaknya. Kedua, sebagai pencari nafkah utama keluarga, yang terkadang tidak terelakkan ketika suaminya sakit atau meninggal akibat merokok. Namun, beban ganda yang harus dijalankan baik perempuan perokok dan non-perokok ini, jarang menjadi perhatian publik dan negara.
Mengingat perempuan perokok masih menjadi kelompok yang termarginalkan dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia, maka kita memerlukan pendekatan yang sensitif gender. Salah satunya dengan mendefinisikan ulang isu perempuan perokok.
Kita dapat memulainya dengan menolak stigma atas perokok perempuan dan menggantinya dengan isu pemberdayaan perempuan untuk berhenti merokok. Kemudian, menjadi pendidik/edukator terkait bahaya merokok bagi anggota keluarga dan masyarakat, khususnya generasi muda yang rentan menjadi target industri tembakau.
Rizanna Rosemary, Lecturer at the Department of Communication, Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Syiah Kuala
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
KOMENTAR